Harry Potter and The
Attachment Grandma
Pada suatu waktu (tentunya sebelum kejadian di Harry
Potter and The Deathly Hallows), sekolah sihir Hogwarts diundang untuk
menghadiri open house sebuah sekolah sihir di Indonesia. Bagi penyihir-penyihir
di daratan Eropa, bisa mengunjungi sekolah sihir di Indonesia merupakan suatu
hal yang sangat jarang terjadi, sebab selama ini para penyihir Indonesia selalu
menutup diri dari dunia luar, sehingga kesaktian mereka kerap kali menjadi
misteri. Pada acara tersebut rencananya akan diadakan pertandingan-pertandingan
dari berbagai macam cabang sihir dan juga pertandingan persahabatan Quidditch.
Tentu saja seeker terbaik Hogwarts, Harry Potter diikutsertakan dalam
pertandingan itu, bersama dengan pemain Quidditch terbaik lainnya yang dipiih
dari seluruh asrama. Mereka benar-benar tak punya bayangan pemain Quidditch
seperti apa yang dimiliki Indonesia, sebab olahraga ini masih terbilang asing
bagi penyihir Indonesia.
Kereta sihir Hogwarts terbang di atas daerah tropis di
garis khatulistiwa, sementara langit malam yang gelap dapat terlihat dari
jendela kereta dimana Harry, Hermione, dan Ron duduk sambil melamun.
“Selamat datang di negeri eksotis,” gumam Ron, memecah
lamunan mereka.
“Well, aku merasa kita akan segera melihat
makhluk-makhluk sihir yang tak pernah kita lihat sebelumnya,” ucap Hermione
sambil membolak-balik sebuah buku tebal setebal buku telepon.
“Apa maksudmu, Hormon?” tanya Harry dengan suara yang
aneh.
“Hermione!” protes Hermione diikuti oleh suara tawa
cekikikan Ron.
“Harry baru saja memakan coklat Namus Scramblus, dia
tidak akan bisa mengucapkan nama orang dengan benar selama tiga hari tiga
malam,” Ron menjelaskan sambil menahan tawa.
“Dan kau yang memberikan coklat itu?” tanya Hermione
sambil melirik pada Ron.
“Not really….”
“Hei, Hormon, kau belum menjawab pertanyaanku,” ujar
Harry.
Hermione memukul wajah Harry dengan buku tebal di
tangannya sebanyak tiga belas kali, menimbulkan luka yang cukup serius, namun
tidak menyembuhkan kutukan Namus Scramblus yang ada di lidah Harry saat ini.
Harry hanya bisa pasrah dengan perlakuan yang ia terima sambil kemudian
menangkap buku tebal itu saat Hermione melemparnya.
“Hantupedia: Ensiklopedia hantu dan makhluk-makhluk sihir
di Indonesia,” Harry membaca judul yang tertera di buku itu dengan lantang.
“Sst… jangan keras-keras, aku merasa salah satu dari
mereka akan mendatangi kita,” ucap Hermione sambil memberi isyarat dengan
tangannya.
Mereka bertiga memasang telinga baik-baik, berusaha
mendengarkan suara-suara halus yang nyaris tak terdengar. Selain mereka
bertiga, tampaknya para murid yang lain sudah tertidur lelap, sementara para
guru berada di gerbong yang lain, sehingga suasana menjadi begitu hening. Di
antara suara mesin kereta yang digerakan dengan tenaga sihir, terdengar pelan
suara sesuatu yang bergesekan, atau lebih tepatnya seperti sesuatu yang
diseret. Suara itu semakin lama semakin terdengar jelas, pertanda bahwa makhluk
apapun yang membuat suara itu sudah semakin dekat dengan tempat duduk mereka.
Tidak sampai satu menit kemudian, sesosok perempuan
berbaju perawat lewat di samping mereka. Perempuan itu tidak berjalan,
melainkan menyeret tubuhnya sendiri di lantai dengan gerakan yang pelan namun
berat. Tubuh makhluk itu dipenuhi darah dan kotoran, beberapa bagian bajunya
tampak terkoyak-koyak. Harry, Hermione dan Ron menatap makhluk itu sambil
menahan nafas. Suasana pun menjadi tegang, sementara Hermione mengambil
Ensiklopedia dari tangan Harry dan mencari-cari data mengenai makhluk itu.
“Ah, ini dia. Nama makhluk itu adalah Suster Ngeshoot,”
bisik Hermione.
“Apa artinya?” tanya Ron sambil melirik.
“Dalam Bahasa Inggris, berarti Sliding Nurse,” jawab
Hermione.
“Sliding Nurse?” gumam Harry, ia merasa bisa mengucapkan
nama itu dengan benar, sebab itu bukan nama manusia.
“Benar-benar eksotis,” gumam Hermione lagi.
Di belakang makhluk itu, sesosok raksasa tinggi besar
muncul dan menimbulkan suara berdebam yang keras setiap kali melangkah. Makhluk
itu tercatat sebagai Buto Ijo atau The Blind Green, masih merupakan kerabat
jauh dari Troll. Di belakang The Blind Green, sekelompok anak kecil berkepala
botak berlarian ke sana ke mari sambil sesekali mengambil dompet para murid
yang tertidur. Makhluk-makhluk itu teridentifikasi sebagai Tuyul atau
Indonesian Pickpocket Dwarf, spesialisasi dalam mencuri uang. Di belakangnya
lagi, seekor babi sihir sedang menggesek-gesekkan tubuhnya ke setiap pintu
gerbong. Babi itu tercatat sebagai Babi Ngepet, atau dalam Bahasa Inggris
dikenal dengan Itchy Boar, spesialisasi juga dalam mencuri uang—seperti orang
Indonesia pada umumnya.
Mereka bertiga tidak hentinya berdecak kagum saat melihat
parade makhluk-makhluk sihir asal Indonesia itu. Namun mereka tak mampu lagi
berdecak kagum ketika makhluk-makhluk yang lebih menyeramkan muncul, misalnya
ketika Sundal Bolong atau Hollow Bitch menatap mereka dan memperlihatkan
punggungnya yang berlubang penuh darah, sambil makan sate seratus tusuk. Atau
ketika Child of Kunti menghampiri mereka dan mencekik Harry.
“Expeliarmus!” Ron berusaha menyerang makhluk itu, tapi
ternyata tidak mempan.
“Tampaknya mantra semacam itu tidak berguna, kita harus
mencari mantra yang lebih lokal!” ucap Hermione sambil membolak-balik halaman
bukunya, sementara Harry sudah hampir mati kehabisan nafas.
Setelah hampir sepuluh menit, akhirnya Hermione menemukan
juga sebuah mantra lokal yang mungkin bisa ia gunakan untuk mengusir makhluk
berbahaya itu.
“Ini dia!”
“Cepatlah! Wajah Harry sudah terlihat seperti
Kau-Tahu-Siapa, begitu buruk,” ucap Ron.
“A… ana kidung rumeksa ing wengi, teguh hayu huputa ing
lar. Luputa bilahi jin setan datan purun, paneluhan tan ana wani miwah panggawe
ala,” Hermione mengambil nafas sebelum melanjutkan mantranya, ia tidak biasa
merapal mantra yang panjang dan berbahasa aneh seperti itu.
Sementara itu, Harry sudah hampir mati dicekik Child of
Kunti sejak sepuluh menit yang lalu, wajahnya sudah membiru dan matanya
melotot, “Ho… Hormon… cepattt… cepat…,”
“Gu… gu… gumaning wong luput, geni atemah tirta, maling
adon tan ana ngarah ing mami, guna duduk pan sirna!” lalu Hermione mengayunkan
tongkat sihirnya.
Child of Kunti tertawa cekikian dengan suara yang
melengking, setelah itu baru ia melepaskan tangannya dari leher Harry. Harry
terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya yang terasa sakit bukan main, sementara
itu Child of Kunti meninggalkan mereka bertiga dan bergabung dengan rombongan
hantu lainnya yang sudah bergerak ke gerbong berikut. Mereka bertiga akhirnya
bisa bernafas dengan lega—kecuali Harry. Untunglah setelah itu tak ada lagi
rombongan hantu yang lewat sehingga mereka bisa beristirahat dan tertidur
pulas. Namun sayangnya, Hermione tidak menyadari bahwa mantra yang tadi ia
bacakan selain berfungsi untuk menghilangkan pengaruh sihir juga berguna untuk
mempermudah jodoh. Itulah mengapa dari luar jendela kereta, Child of Kunti
terus memandangi Harry tanpa berkedip….
Chapter 2The Witch Which Watches Who Wears Watch Wich is
a Bitch
Esok paginya, rombongan Hogwarts telah sampai di tempat
yang ditunjukkan oleh surat undangan sihir. Mereka semua turun dari kereta
dipimpin oleh para guru dan kemudian berhenti di depan sebuah papan besar yang
berhiaskan tengkorak manusia dan bertuliskan: PADEPOKAN ILMU GAIB GUNUNG MERAPI
(sedang dalam renovasi, hati-hati banyak jenglot berkeliaran). Di sebelahnya
ada terjemahan dalam Bahasa Inggris yang tampaknya baru saja dibuat: WIZARDRY
AND BLACK MAGIC SCHOOL OF MOUNT MERAPI (renovation in progress, beware of
Ugly-Looking-Long Haired-Vampiric-Living-Mini-Voodo-Doll).
“Tempat yang menyeramkan, bukan begitu?” ujar Dumbledore
ketika Severus Snape menghampirinya.
“Ah, kurasa demikian,” Snape memicingkan matanya dan
menatap puncak gunung merapi.
“Kita harus menjauhkan anak-anak dari
Kita-Tidak-Tahu-Siapa,” ucap Dumbledore lagi.
“Ya. Dia adalah Seseorang-Yang-Namanya-Tak-Bisa-Disebut-Karena-Sekalipun-Kita-Ingin-Menyebutnya-Kita-Tidak-Tahu-Siapa-Namanya-Atau-Bahkan-Siapa-Dia,”
Snape lalu menghela nafas dan berdeham pelan.
“Untuk itulah kau ada di sini, Severus.”
“Jangan khawatir, anak-anak ada dalam pengawasanku.
Terutama bocah itu.”
Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di dalam
Padepokan, dan kini mereka menyaksikan sebuah lapangan besar yang merupakan
arena pertandingan Quidditch dan pertandingan lain yang akan diadakan. Di salah
satu sudut stadion, para pendukung tim Quidditch Indonesia bersorak-sorai dan
membuat keributan, mereka tampak begitu brutal sehingga bagian tempat duduk
mereka harus dijaga dengan segel sihir tingkat tinggi. Harry dapat melihat
sekelompok supporter Quidditch yang membawa bendera bertuliskan Viking sedang
adu mulut dengan kelompok supporter lain yang membawa bendera bertuliskan The
Jak. Keributan mereka semakin lama semakin parah, sehingga seorang pengawas
keamanan harus menyetrum mereka dengan listrik sihir bertegangan tinggi.
Harry duduk di antara Severus Snape dan Dumbledore. Sejak
masuk ke dalam sini ia sudah merasa tak nyaman dengan cara Snape mengawasinya,
seolah-olah ia tak pernah sedetikpun melepaskan pandangannya. Di sebelah kanan
Harry, Albus Dumbledore sedang mengelus-ngelus jenggotnya yang berwarna putih
sambil menonton pertandingan pertama yang akan digelar. Quidditch ada di
rangkaian pertandingan ke-empat, jadi Harry punya banyak waktu untuk menonton
pertandingan sebelumnya.
Pertandingan pertama adalah Transfigurasi, yaitu
kemampuan untuk merubah diri sendiri menjadi bentuk lain, misalnya
binatang–dikenal juga dengan istilah Animorph. Seorang siswa Hogwarts yang
cukup berbakat maju ke tengah lapangan dan menunjukkan kemampuannya, dalam
sekejap saja ia telah berubah menjadi seekor kucing hitam yang lincah. Beberapa
saat kemudian, seorang siswa yang lain langsung berubah menjadi seekor
kelelawar yang bisa terbang kemana-mana. Para pendukung dari Hogwarts
memberikan tepuk tangan meriah, sementara para pendukung dari Indonesia tak
henti mencacinya.
“Siapa yang paling hebat? Padepokan Merapi yang terkuat…,
ganyang Hogwarts! Ganyang Hogwarts!” begitulah bunyi yel-yel mereka.
Ketika tiba giliran Padepokan Merapi, seorang anak
laki-laki berumur lima belas tahun maju ke tengah lapangan dan memperkenalkan
diri sebagai Ki Karang Anom. Ia lalu merapal sebuah mantra, dan seketika itu
juga ia berubah menjadi sesosok makhluk. Bukan kelelawar, bukan kucing, apalagi
tikus; ia berubah menjadi Tyranosaurus! Siswa-siswi Hogwarts terdiam, mereka
tidak menyangka ada kemampuan seperti itu, bahkan para guru Hogwarts pun dibuat
terkejut. Tidak hanya sampai disitu, Tyranosaurus itu pun berubah lagi menjadi
seekor kalajengking raksasa yang tidak memiliki bayangan dan memiliki kontras
warna yang berbeda dengan lingkungan sekitarnya.
“Mencengangkan…,” gumam Snape.
“Aku belum pernah melihat sihir semacam itu sebelumnya,”
tambah Dumbledore.
“Tak bisa dipercaya, seolah dibuat dengan efek komputer,”
ujar Harry.
Setelah pertunjukan pembuka itu, tibalah saatnya bagi
Kepala Sekolah Padepokan Merapi untuk memberi kata sambutan dan ucapan selamat
datang. Kepala Sekolah Padepokan Merapi ternyata adalah seorang wanita, sama
tuanya dengan Dumbledore, namun memiliki wajah yang lebih menakutkan dan
berpakaian serba hitam. Dumbledore seketika itu juga gemetar, begitu pula
dengan Snape. Seseorang-Yang-Kita-Tidak-Tahu-Siapa ternyata adalah
Mereka-Tahu-Siapa.
“Wanita… wanita itu…,” gumam Dumbledore cemas, keringat
menetes di pelipisnya.
“Ini berbahaya. Aku tidak menyangka dialah kepala sekolahnya,”
ucap Snape.
“Siapa dia?” tanya Harry penasaran.
“Dia adalah… Mak Lampir…,” jawab Dumbledore.
“Atau dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai, Attachment
Grandma,” tambah Snape.
Setelah beberapa kali melakukan check sound, Mak Lampir
akhirnya memulai pidato penyambutannya. Pertama-tama, ia mulai dengan tertawa
sepuas-puasnya, kurang lebih selama sepuluh menit, baru setelah itu ia mulai
berbicara.
“Tamu undangan dari sekolah Hogwarts yang kami hormati,
senang sekali rasanya bisa menjamu kalian di sekolah kami yang megah ini. Sudah
lima ratus tahun kami tidak pernah mengundang siapapun ke dalam sekolah ini,
ini adalah kehormatan buat kalian. Dahulu kala, ketika negara kalian menjajah
negara kami, kami sebagai para penyihir tak pernah tinggal diam. Kami selalu
pro-aktif dalam menjalankan berbagai konspirasi, yang kadang berpihak kepada
penguasa, kadang berpihak kepada para pejuang. Lalu setelah Indonesia merdeka,
kami pun tetap berperan di balik layar, mengendalikan para penguasa, pejabat,
dan infotainment. Oleh karena itu, saya selaku kepala sekolah di tempat ini,
ingin memberikan satu wejangan: Jas Hitam! Jangan sekali-sekali meremehkan ilmu
hitam! Hahahahaha….“
Pidato Mak Lampir ditutup dengan tertawa bersama-sama
kurang lebih selama lima belas menit—itulah mengapa penjual permen pelega
tenggorokan begitu laku di stadion ini— setelah itu ia pun terbang dan
menghilang di balik stadion. Susunan acara selanjutnya dibacakan oleh seorang
MC tamu, yaitu Laksmini Pendekar Seksi dari Gunung Lawu.
Snape dan Dumbledore terlihat semakin gelisah, terlihat
dari tatapan mata Snape yang semakin tajam dan Dumbledore yang mengelus
jenggotnya semakin cepat. Sementara itu Harry juga tampak gugup, karena
sebentar lagi ia harus bertanding Quidditch melawan penyihir-penyihir Indonesia
yang tampak menyeramkan itu.
“Tampaknya aku harus pergi,” ujar Snape.
“Baiklah, lakukan apa yang seharusnya dilakukan,” ucap
Dumbledore sambil mengelus jenggotnya dengan gerakan semakin cepat.
Snape mengangguk pelan, lalu segera bangkit dari tempat duduknya.
Namun sebelum ia pergi, ia menatap Harry sekali lagi, “Potter, tetap di sini,
jangan pergi kemana-mana.”
“Tapi sebentar lagi aku harus bertanding,” ujar Harry.
“Aku tidak peduli,” ucap Snape ketus.
“Profesor Dumb…?” Harry meminta pembelaan dari Dumbledore,
tapi ia malah ditampar oleh Dumbledore menggunakan jenggotnya.
“Jangan memanggilku begitu, itu membuatku terdengar
bodoh!”
“Ma.. maaf, Profesor Dumb, tapi aku terkena sihir Na…,”
Harry ditampar lagi oleh jenggot Dumbledore,
berkali-kali. Sementara itu, Snape langsung pergi ke belakang stadion, menuju
sebuah lorong gelap yang sepi.
***
Lorong itu sangat gelap dan hanya diterangi oleh cahaya
lampu petromak di dindingnya, selain itu bau kemenyan terasa begitu menyegat
dan memenuhi setiap bagan lorong. Ketika Snape melangkah lebih jauh lagi, ia
menemukan sebuah nampan berisi makanan ringan, ayam, dan nasi. Ia bergumam
pelan, menggerutu tentang bagaiman penyihir Indonesia terlalu berbaik hati
kepada makhluk-makhluk sihir mereka. Gerutuan Snape berhenti ketika dari
kejauhan ia melihat sesosok penyihir yang sedang ia cari-cari.
“Attachment Grandma…,” ucap Snape pelan sambil
menghampiri sosok Mak Lampir di lorong itu.
Mak Lampir berbalik, lalu tertawa terbahak-bahak—jenis
tawa yang sudah dipatenkan agar tak ditiru oleh penyihir Malaysia. Kemudian ia
menatap Snape, seolah sudah begitu lama mengenalnya, begitu mendalam, begitu
penuh kenangan.
“Ah…, Siphilis Snake!” ucapnya.
“Severus Snape!” ucap Snape kesal.
Mak Lampir tertawa lagi, lalu memukul-mukulkan tongkat
kepala manusianya ke atas lantai. Ia mengambil sirih dan mengunyahnya.
Terkadang ia memang lebih dikenal sebagai nenek sirih daripada nenek sihir.
“Ki Sanak, sudah lama kita tak berjumpa,” ucap Mak
Lampir.
“Aku bukan Ki Sanak!” Snape semakin kesal.
Mak Lampir tertawa lagi, kali ini sampai
terbatuk-batuk—tampaknya ia menelan sirihnya.
Bagaimana? Kau suka sekolahku? Mungkin sebaiknya kau
pindah saja ke sini, tampangmu lebih cocok di sekolah ini,” ucap Mak Lampir,
lalu tertawa, lagi.
“Tempat ini, penuh dengan aroma kegelapan. Ya, mungkin
cocok untukku,” jawab Snape tenang.
“Hmm…, bagaimana kabar Dumb-Ble-Dore itu? Tadi aku
melihatnya dari lapangan, ia masih bersama anak itu ya?”
“Ya,” diam-diam Snape menyiapkan tongkat sihir di balik
jubahnya, “dan sekarang aku mulai berpikir, tentang tujuanmu yang sebenarnya
mengundang kami ke sini.”
“Tentu saja untuk studi banding. Sekolah kami sedang
berusaha untuk mendapatkan lisensi sekolah sihir standar internasional atau
SSSI, makanya kami ingin studi banding dengan kalian. Tapi tampaknya kalianlah
yang harus belajar dari kami,” ia tertawa lagi.
“Jangan bohong kepadaku. Aku tak akan membiarkan kau
menyentuh anak itu!”
Snape mengeluarkan tongkat sihirnya dan akan membaca
mantra, tapi ternyata Mak Lampir memiliki gerakan yang lebih cepat.
“Amburadul!” ucap Mak Lampir sambil menggoyangkan
tongkatnya.
Seketika itu juga, sebuah sinar hijau keluar dari kepala
tengkorak di tongkat Mak Lampir dan langsung menghantam Snape. Ia tersungkur
dan merasakan sesuatu perubahan telah terjadi pada tubuhnya. Ia kaget bukan
main ketika menyadari bahwa susunan tubuhnya telah berubah. Kaki di kepala,
kepala di kaki. Mata ada di mata kaki, sementara mata kaki ada di mata.
Sementara itu Mak Lampir tertawa puas, suara tawanya dapat memekakkan telinga
Snape yang kini sudah berada di pantatnya.
“Kau jauh lebih lemah dariku. Aku ini Date Eater,
terutama saat berbuka puasa,” ucap Mak Lampir, “kau sendiri tahu bahwa
kekuatanku lebih unggul, bahkan dari Voldemort sekalipun.”
“Kalau memang kau sekuat dan sekejam itu, kenapa kau
tidak membunuhku saja?” tanya Snape sambil mengejek. Mulutnya kini ada di
dengkul.
“Tentu saja karena kau masih dibutuhkan di buku Harry
Potter episode selanjutnya, bodoh! Apa harus kuberikan spoiler tentang siapa
yang akan membunuhmu nanti?” ucap Mak Lampir sambil mengetuk-ngetukkan
tongkatnya.
“Ja… jangan.”
Mak Lampir tertawa lagi, seolah 75% waktu hidupnya ia
habiskan hanya untuk tertawa—dan karena dia immortal, maka itu akan sangat lama
sekali. Kemudian ia berjalan melewati Snape yang masih dalam keadaan amburadul,
ia keluar menuju lapangan dimana pertandingan Quidditch sedang berlangsung,
dimana Harry tengah bertanding.
Karya
: Leurisa Mayangshita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar