Rabu, 12 November 2014

Perjalanan Gadis Matahari

(Cerpen)

Perjalanan Gadis Matahari

Ayako Minoru, seorang gadis Jepang yang berjulukan “sang Gadis Matahari” ini selalu dipuja dan dibanggakan rakyat Jepang khususnya di Pulau Kyusu. Gadis ini dianggap sebagai anak Dewa, karena kelahirannya sangat misterius dan tidak pernah satupun orang mengetahuinya. Semenjak ia lahir sampai sekarang berumur 18 tahun, ia tinggal dan diasuh oleh seorang biksu suci di ssebuah kuil. Biksu tersebut memberinya ilmu tentang Budha dan membimbingnya agar kelak, gadis ini dapat menjadi seorang biksuni yang bijaksana. Bukan hanya ilmu Budha, tapi cara mempertahankan diri pun diajarkan sang biksu padanya.
Angin bertiup cukup kencang di sore hari, membuat suasana menjadi lebih dingin dari sebelumnya ketika Ayako sang Gadis Matahari duduk termenung di balkon kamarnya. “18 tahun sudah aku diajarkan Budha oleh Guru, tapi aku masih belum yakin jika aku ini adalah seorang anak Dewa. Siapa Ayah dan Ibuku? Di mana mereka? Aaaaaahhhh aku sudah dewasa! Aku harus mencari tahu jati diriku yang sebenarnya!” Api di dalam tubuhnya menyala-nyala bagaikan naga yang sedang murka. Tekadnya kuat, niatnya tulus dan sikapnya tegas. Tak perlu takut dengan Guru dan tak perlu ragu untuk maju.
Berlarilah ia menemui sang Guru, menceritakan tentang apa saja yang ia rasa, meluapkan semua emosinya, meneteskan air matanya akibat rindu pada sesosok Ayah dan Ibu. Restu dan do’a dari sang Guru pun terucap. Semangat dan dorongan dari Guru sekaligus mengiringi kepergian sang Gadis Matahari menuju ke Negri Gingseng.
Pertama kali menginjakkan kaki di negri ini, ia tidak mengerti apapun. Bahasanya, tulisan di papan jalan, maupun tempat-tempat yang ada di sana. Dengan berbekal bahasa Negri Matahari Terbit yaitu bahasa Jepang, ia menanyai semua orang di sepanjang jalan raya yang panjang bak Ular Phiton. Setelah 5 jam ia menanyai banyak orang yang ada di sana, akhirnya ia menemukan seorang pria yang tepat. Dengan nafas yang terengah-engah, ia bertanya kepada pria tersebut. “Apakah Anda dapat berbicara bahasa Jepang? Ada sesuatu hal penting yang ingin aku katakan”.
Tidak makan dan minum selama 5 jam bukanlah perkara mudah. Karena sudah tak kuat lagi menopang tubuhnya, sang Gadis Matahari itupun akhirnya terjatuh. Dengan cekatan, pria tersebut menolong Ayako.  “Nona...Nona baik-baik saja? Mari saya bantu berdiri. Apa yang kau butuhkan? Air? Saya akan carikan. Tunggu sebentar Nona, dan jangan pergi kemana-mana. Aku akan kembali beberapa menit lagi”. Mendengar ucapan pria itu, Ayako terlonjak dan langsung mencegah pria itu untuk pergi. Tetapi terlambat, terpaksa ia harus menunggu pria tersebut kembali. Setelah beberapa menit, pria itu pun akhirnya tiba. Tanpa berpikir panjang, Ayako langsung menyambar minuman yang pria tersebut bawa, dan langsung duduk di sebelahnya. “Arigato gozaimasu, aku sudah baikan. Tadi aku mendengar kau berbicara bahasa Jepang, apakah kau mengerti apa yang aku katakan?”
“Iya Nona, nama saya Kim Jae Jong, saya adalah seorang ahli tata surya sekaligus menjadi ahli bahasa Jepang di negri ini. Memang ada apa dengan Nona? Apakah ada masalah? Ceritakan saja, mungkin saya bisa membantu Nona”.
“Ahhhhh jangan panggil saya Nona Pak Kim, panggil saja saya Ayako. Iya Pak Kim, saya ingin menayakan suatu hal pada Anda”. Sang Gadis Matahari menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Dan tak terasa juga hari sudah mulai gelap. Kim Jae Jong berbaik hati untuk mencarikan tempat tinggal untuk Ayako. Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan hilang ditelan waktu. Gadis Matahari belum bisa mengatahui siapa dirinya yang sebenarnya. Sikap putus asa sudah muncul dibenakknya, berniatlah ia untuk kembali ke negri asalnya. Dan pada pertemuan terakhirnya dengan Kim Jae Jong untuk berpamitan, Ayako akhirnya mengetahui jati dirinya, perasaan bahagia yang begitu mendalam ia rasakan, tak sabar rasanya ia ingin menemui sosok Ayah dan Ibu yang ia rindukan. Kini, ia bukanlah lagi seorang anak Dewa, tetapi ia masih tetap “Sang Gadis Matahari”.
Ayah dan Ibu Ayako memang berasal dari Jepang, dan mereka sama sekali tidak bisa berbahasa Korea, makadari itu, mereka bertemu dengan Kim Jae Jong sang ahli bahasa Jepang sekaligus rekan kerjanya di Perusahaan Tata Surya Seoul. Setelah Ayako lahir, mereka menitipkan anak satu-satunya itu ke sebuah kuil, karena kesibukan mereka itu, Ayako tidak dapat mereka urus. Mereka juga memberikan sebuah surat bertuliskan “Ayako Minoru, Sang Gadis Matahari”. Karena keterampilan dan keahlian kedua orangtua Ayako dalam bidang ilmu Matahari, rakyat Korea sering memanggil mereka dengan julukan “Pasangan Matahari”. Entah mengapa Ayako tiba-tiba meneteskan airmata. Ternyata, Ayah dan Ibunya telah meninggal 3 tahun yang lalu karena kecelakaan saat berada di laboratorium mereka. Tak bisa lagi Sang Gadis Matahari tinggal dalam dekap kasih sayang dari sesosok Ayah dan Ibu. Matahari memang bagi rakyat Jepang, tetapi julukan “Gadis Matahari adalah julukan bagi seorang anak dari “Pasangan Matahari”. Dan Ayako Minoru bukan seorang anak Dewa Matahari.
Selama 18 tahun Gadis Matahari tidak bisa tinggal dan menetap bersama orangtuanya. Makadari itu, ia melanjutkan studynya dan menetap di Korea sampai ia berusia 27 tahun. Saat itulah, Ayako lulus S2 dari Universita Hanguk Korea jurusan Tata Surya. Dan akhirnya “Sang Gadis Matahari” melanjutkan pekerjaan sang orangtua tercinta.

Karya : vinaclara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar