Perjalanan Gadis Matahari
Ayako Minoru, seorang gadis Jepang yang
berjulukan “sang Gadis Matahari” ini selalu dipuja dan dibanggakan rakyat
Jepang khususnya di Pulau Kyusu. Gadis ini dianggap sebagai anak Dewa, karena
kelahirannya sangat misterius dan tidak pernah satupun orang mengetahuinya.
Semenjak ia lahir sampai sekarang berumur 18 tahun, ia tinggal dan diasuh oleh
seorang biksu suci di ssebuah kuil. Biksu tersebut memberinya ilmu tentang Budha
dan membimbingnya agar kelak, gadis ini dapat menjadi seorang biksuni yang
bijaksana. Bukan hanya ilmu Budha, tapi cara mempertahankan diri pun diajarkan
sang biksu padanya.
Angin bertiup cukup kencang di sore
hari, membuat suasana menjadi lebih dingin dari sebelumnya ketika Ayako sang
Gadis Matahari duduk termenung di balkon kamarnya. “18 tahun sudah aku
diajarkan Budha oleh Guru, tapi aku masih belum yakin jika aku ini adalah
seorang anak Dewa. Siapa Ayah dan Ibuku? Di mana mereka? Aaaaaahhhh aku sudah
dewasa! Aku harus mencari tahu jati diriku yang sebenarnya!” Api di dalam
tubuhnya menyala-nyala bagaikan naga yang sedang murka. Tekadnya kuat, niatnya
tulus dan sikapnya tegas. Tak perlu takut dengan Guru dan tak perlu ragu untuk
maju.
Berlarilah ia menemui sang Guru,
menceritakan tentang apa saja yang ia rasa, meluapkan semua emosinya,
meneteskan air matanya akibat rindu pada sesosok Ayah dan Ibu. Restu dan do’a
dari sang Guru pun terucap. Semangat dan dorongan dari Guru sekaligus
mengiringi kepergian sang Gadis Matahari menuju ke Negri Gingseng.
Pertama kali menginjakkan kaki di negri
ini, ia tidak mengerti apapun. Bahasanya, tulisan di papan jalan, maupun
tempat-tempat yang ada di sana. Dengan berbekal bahasa Negri Matahari Terbit
yaitu bahasa Jepang, ia menanyai semua orang di sepanjang jalan raya yang
panjang bak Ular Phiton. Setelah 5 jam ia menanyai banyak orang yang ada di
sana, akhirnya ia menemukan seorang pria yang tepat. Dengan nafas yang
terengah-engah, ia bertanya kepada pria tersebut. “Apakah Anda dapat berbicara
bahasa Jepang? Ada sesuatu hal penting yang ingin aku katakan”.
Tidak makan dan minum selama 5 jam
bukanlah perkara mudah. Karena sudah tak kuat lagi menopang tubuhnya, sang
Gadis Matahari itupun akhirnya terjatuh. Dengan cekatan, pria tersebut menolong
Ayako. “Nona...Nona baik-baik saja? Mari
saya bantu berdiri. Apa yang kau butuhkan? Air? Saya akan carikan. Tunggu
sebentar Nona, dan jangan pergi kemana-mana. Aku akan kembali beberapa menit
lagi”. Mendengar ucapan pria itu, Ayako terlonjak dan langsung mencegah pria
itu untuk pergi. Tetapi terlambat, terpaksa ia harus menunggu pria tersebut
kembali. Setelah beberapa menit, pria itu pun akhirnya tiba. Tanpa berpikir
panjang, Ayako langsung menyambar minuman yang pria tersebut bawa, dan langsung
duduk di sebelahnya. “Arigato gozaimasu,
aku sudah baikan. Tadi aku mendengar kau berbicara bahasa Jepang, apakah kau
mengerti apa yang aku katakan?”
“Iya Nona, nama saya Kim Jae Jong, saya
adalah seorang ahli tata surya sekaligus menjadi ahli bahasa Jepang di negri
ini. Memang ada apa dengan Nona? Apakah ada masalah? Ceritakan saja, mungkin
saya bisa membantu Nona”.
“Ahhhhh jangan panggil saya Nona Pak
Kim, panggil saja saya Ayako. Iya Pak Kim, saya ingin menayakan suatu hal pada
Anda”. Sang Gadis Matahari menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Dan
tak terasa juga hari sudah mulai gelap. Kim Jae Jong berbaik hati untuk
mencarikan tempat tinggal untuk Ayako. Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan
hilang ditelan waktu. Gadis Matahari belum bisa mengatahui siapa dirinya yang
sebenarnya. Sikap putus asa sudah muncul dibenakknya, berniatlah ia untuk
kembali ke negri asalnya. Dan pada pertemuan terakhirnya dengan Kim Jae Jong
untuk berpamitan, Ayako akhirnya mengetahui jati dirinya, perasaan bahagia yang
begitu mendalam ia rasakan, tak sabar rasanya ia ingin menemui sosok Ayah dan
Ibu yang ia rindukan. Kini, ia bukanlah lagi seorang anak Dewa, tetapi ia masih
tetap “Sang Gadis Matahari”.
Ayah dan Ibu Ayako memang berasal dari
Jepang, dan mereka sama sekali tidak bisa berbahasa Korea, makadari itu, mereka
bertemu dengan Kim Jae Jong sang ahli bahasa Jepang sekaligus rekan kerjanya di
Perusahaan Tata Surya Seoul. Setelah Ayako lahir, mereka menitipkan anak
satu-satunya itu ke sebuah kuil, karena kesibukan mereka itu, Ayako tidak dapat
mereka urus. Mereka juga memberikan sebuah surat bertuliskan “Ayako Minoru,
Sang Gadis Matahari”. Karena keterampilan dan keahlian kedua orangtua Ayako
dalam bidang ilmu Matahari, rakyat Korea sering memanggil mereka dengan julukan
“Pasangan Matahari”. Entah mengapa Ayako tiba-tiba meneteskan airmata.
Ternyata, Ayah dan Ibunya telah meninggal 3 tahun yang lalu karena kecelakaan
saat berada di laboratorium mereka. Tak bisa lagi Sang Gadis Matahari tinggal
dalam dekap kasih sayang dari sesosok Ayah dan Ibu. Matahari memang bagi rakyat
Jepang, tetapi julukan “Gadis Matahari adalah julukan bagi seorang anak dari
“Pasangan Matahari”. Dan Ayako Minoru bukan seorang anak Dewa Matahari.
Selama 18 tahun Gadis Matahari tidak bisa
tinggal dan menetap bersama orangtuanya. Makadari itu, ia melanjutkan studynya
dan menetap di Korea sampai ia berusia 27 tahun. Saat itulah, Ayako lulus S2
dari Universita Hanguk Korea jurusan Tata Surya. Dan akhirnya “Sang Gadis
Matahari” melanjutkan pekerjaan sang orangtua tercinta.
Karya : vinaclara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar